Senin, Mei 30, 2011

Sepakbola dan Kebanggaan


“Kami datang menemani sesuatu yang kami banggakan, siap membela mereka dan mati karenanya!” ujar Damien Donohue lelaki asal Inggris yang belakangan tinggal di Bangkok. Inilah era yang disebut oleh banyak pencinta Sepakbola Inggris sebagai masa terbaik mereka. Fanatisme, perkelahian, minuman keras dan segala bentuk provokasi adalah bagian dari kehidupan Sepakbola itu “Dulu nonton bola ya nonton bola, datang dari rumah bersama kawan dan seketika memutuskan untuk berangkat ke Stadion,” kenang Antony Sutton seorang gunners yang kini tinggal di Tangerang, teman baik saya, salah satu sumber kisah Sepakbola Inggris…..dan pencinta Sepakbola Indonesia “Karena Sepakbola kalian masih murni seperti Sepakbola kami dulu.”
Saya memahami benar kalimat Antony, saya selalu meresponnya dengan gabungan rasa senang dan sedih. Saya senang karena kita begitu mencintai permainan luar biasa ini, permainan yang bisa membuat lelaki meneteskan air mata di dalam maupun luar lapangan, permainan terindah yang pernah diturunkan Tuhan untuk kita mainkan dan cintai bersama. Kita memiliki fanatisme luar biasa yang kedahsyatannya saya berani katakannya kini telah mampu melampaui beberapa negara utama Sepakbola di Eropa.
“Tak perlu mereka pergi ke St Pauli untuk melihat apa itu fanatisme, cukup nonton Persib lawan Arema semalam dan lihat apa yang terjadi!” tulis Andreas Marbun dalam pesannya di blackberry yang saya tangkap sebagai kegeraman pencinta Sepakbola Indonesia pada mereka yang terus memuja Sepakbola Eropa dan fanatismenya diatas apa yang negerinya sendiri tunjukkan
Di saat yang bersamaan, saya merasa sedih pada akibat dari fanatisme itu. Pada betapa brengseknya kehidupan kita saat ini. Lapangan pekerjaan yang kian sulit, jurang kaya dan miskin yang semakin dalam, perkelahian politik terjadi nyaris tiap hari yang kekerasannya bisa kita saksikan di televisi, korupsi yang katanya berkurang di level atas tapi terus terjadi di level tengah sampai bawah. Segala kejayaan yang dirancang oleh Orde Baru nyatanya hanyalah barisan hutang yang takkan terbayar oleh generasi ini. Kekayaan minyak, batu bara, gas, nikel sampai emas yang disebut sebagai kekayaan alam milik kita itu nyatanya dimiliki oleh asing.
Indonesia yang tampak berjaya di masa lalu secara ekonomi, mampu menyelenggarakan Asian Games saat banyak negara Asia masih sibuk bebenah baru merdeka dan dirancang untuk jadi negara maju di tahun 1999 nungging luar biasa sampai nyaris tak terlihat lagi ujung kepalanya.
Seperti di Inggris berpuluh tahun lalu Sepakbola kemudian menyelamatkan hidup ini. Kita berlari ke Stadion mendukung tim yang kita cintai itu sembari tanpa sadar kita mengonfirmasi bahwa kita sedang kehilangan pegangan kebanggaan pada negeri ini. Kita memuja para lelaki yang di dada kirinya tersemat lambang kesayangan kita sepenuh mati, mau menemani kemana mereka pergi dan siap pula mati karenanya. Sepakbola mengajak kita melupakan kesulitan ekonomi, budaya dan identitas kita dengan sempurna sembari tanpa sadar membuat kita memindahkan kekerasan dan keculasan politik ke ranah Sepakbola.
“Sepakbola adalah refleksi sebuah bangsa!” ujar Franz Beckenbauer yang sangat terus membekas di hati ini.
Terus saya ulang jika saya harus berkisah tentang bagaimana besarnya Sepakbola dan betapa brengseknya negeri ini serta permainan yang tetap saja kita cintai itu. Kecintaan luar biasa dahsyat yang kadang mencapai level tak masuk akal. “Gue tahu negara gue gak akan lolos ke Piala Dunia sampai gue mati, tapi gue akan terus datang ke Stadion untuk dukung negara gue,” tulis seseorang yang saya lupa siapa di akun twitternya.
“Jika Sepakbola mau maju, maka ia harus menjadi industri, kami melakukannya dan pengorbanannya luar biasa,” desah Antony di sela-sela birnya sebelum sebuah partai tim nasional kita melawan Bahrain di Senayan 2007. Saya tersenyum kecut sembari berpikir kapan kita akan bisa melakukannya. Situasi negeri terlalu keparat untuk bisa membuat politisi berhenti memikirkan segala gagasan utopis itu dan mulai berpikir untuk merapikan Sepakbola kita dan menjadikannya sebagai alat efektif untuk membuat negeri ini bangga dan bahagia.
Saya percaya Sepakbola mampu melakukannya dan saat itulah kekerasan akan berhenti dengan sendirinya, lewat revolusi sistem dan mekanisme bukan lewat kudeta seorang ketua.
Ditulis oleh Andibachtiar Yusuf, seorang Filmaker & Football Reverend

Tidak ada komentar: